Menimbang Persiapan e-Rekap Pada Pilkada 2020


Jakarta, LP3MI.ORG --
Selasa, 25 Agustus 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan uji coba sistem rekapitulasi suara elektronik atau electronic recapitulation (e-rekap) untuk kedua kalinya. e-rekap yang diuji coba kedua kalinya ini berbeda dengan e-rekap yang diuji coba pertama. Jika pada uji coba pertama, teknologi rekapitulasi elektronik yang ditawarkan adalah Optical Character Recognition (OCR), Optical Mark Recognition (OMR), dan gabungan keduanya, pada uji coba kedua, e-rekap yang diberi nama Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap) telah mengerucut pada teknologi gabungan OCR dan OMR dimana C1 Plano menyediakan kolom tally berserta angka untuk OCR dan kolom melingkari untuk OMR. Berdasarkan uji coba yang dilakukan, basis data utama Sirekap adalah C1 Plano yang di foto menggunakan telfon genggam petugas TPS untuk dibaca hasilnya dan dikirimkan melalui perangkat lunak Sirekap. Uji coba Sirekap yang diselenggarakan oleh KPU patut untuk diapresiasi dalam rangka mengukur kesiapan sistem dan mensosialisasikan kepada publik adanya wacana penggunaan teknologi informasi berupa rekapitulasi suara elektronik dengan tujuan untuk meminimalisir kompleksitas rekapitulasi suara manual di pemilu Indonesia yang membutuhkan waktu lama. 

Namun demikian, berdasarkan analisa Lembaga Pemantau Pemilu Pemuda Muslimin Indonesia (LP3MI)) yang ikut menyaksikan uji coba Sirekap tersebut terdapat empat aspek utama yang perlu diperhatikan oleh KPU RI dalam mempersiapakan Sirekap, yang diantaranya sebagai berikut:

Infrastruktur Teknologi

Pada uji coba kedua, sistem teknologi e-rekap masih belum berjalan baik diantaranya: (1) C1 Plano yang menjadi basis data perolehan suara utama yang akan dibaca dan dikirim melalui Sirekap menyediakan kolom tanda tangan saksi-saksi dari peserta pemilu sebagai bentuk verifikasi keabsahan C1 Plano yang di foto adalah yang asli. Untuk memperkuat autentifikasi tersebut baiknya C1 Plano memiliki barcode yang bisa dibaca oleh Sirekap untuk menunjukan bahwa C1 Plaon yang difoto adalah asli; (2) Aplikasi Sirekap yang disiapkan menyediakan fitur crop ketika petugas TPS selesai memfoto C1. Fitur ini cukup baik agar petugas dapat menyesuaikan hasil fotonya, namun perlu diberikan standarisasi agar hasil crop yang dilakukan tidak berbeda-beda. Sebagai contoh, dalam uji coba yang dilakukan terdapat petugas TPS yang melakukan crop untuk mengambil angka-angka di kolom C1 Plano saja, tetapi ada juga yang menggunakan fitur crop untuk mensimetriskan hasil foto dari keseluruhan tampilan di C1 Plano; (3) C1 Plano yang dibuat menggabungkan tampilan OCR dan OMR yang sebetulnya dari tujuannya ialah untuk menguatkan akurasi hasil pemilu. C1 Plano yang menyediakan kolom untuk melingkari dan menghitamkan layaknya kertas jawaban ujian yang biasa dilakukan di sekolah, akan sedikit memakan waktu bagi penyelenggara untuk melingkari dan diperlukan kehati-hatian agar tidak merusak kertas; (4) Sirekap menyediakan fitur scan barcode hasil pemilu yang sudah di foto oleh petugas TPS untuk dilihat oleh saksi-saksi peserta pemilu termasuk petugas Pengawas TPS untuk dilihat dan diverifikasi apakah hasil pemilu yang di foto dan dibaca oleh Sirekap sesuai dengan yang tertulis di C1 Plano. Fitur ini ditujukan untuk mendapatkan persetujuan dari saksi dan petugas Pengawas TPS sebelum dikirim ke server untuk ditabulasi secara keseluruhan. Sayangnya, mekanisme persetujuan ini dilakukan secara verbal saja dan tidak tercatat secara digital. Catatan bukti persetujuan digital ini penting sebagai data bagi penyelenggara pemilu jika menghadapi perselisihan hasil pemilu; (5) Fitur scan barcode untuk melihat hasil pemilu di TPS berdasarkan bacaan Sirekap ini baiknya bisa diakses juga oleh publik dan pemantau pemilu sebagai bentuk transparansi serta membuka ruang pengawasan partisipatif bagi publik; (6) Staf KPU yang berperan sebagai petugas KPPS membutuhkan waktu lama untuk berhasil mengirim hasil pindaian sistem OCR dan OMR ke server tabulasi suara. Selain itu, sistem kerap tidak berhasil memindai Form C1 Plano karena foto yang diambil petugas kurang fokus, sistem salah mengkonversi angka, dan barcode yang tak dapat diakses oleh saksi dan pengawas TPS. Akses ditolak sistem dengan jawaban “Jaringan Anda Tidak Privat”. Sehingga secara teknologi masih memerlukan perbaikan.

Kesiapan Tenaga Terlatih (SDM)

Dalam uji coba dengan hanya sedikit orang, setidaknya masih terdapat beberapa petugas KPPS yang kesulitan dan kebingungan saat sistem tak bisa membaca Form C1 Plano, sistem salah mengkonversi angka, dan barcode tidak bisa diakses. Bahkan, ada petugas yang salah memasukkan kode daerah sehingga harus mengulang proses dari awal. Kesulitan dan kebingungan barangkali disebabkan tak adanya briefing yang memadai kepada para staf KPU berlakon petugas KPPS. Kesulitan dan kebingungan yang sama akan dihadapi oleh KPPS jika bimtek yang diberikan tak memadai. Untuk hal tersebut, KPU baiknya menyiapkan daftar Q&A masalah yang kerap terjadi selama uji coba guna membantu KPPS bertugas dan kedepan diperlukan Bimtek yang mendalam bagi petugas TPS yang akan menggunakan Sirekap.

Ketidakcupukan Regulasi

UU Pilkada No.1/2015 Pasal 111 ayat (1) menyebutkan: “Mekanisme penghitungan dan rekapitulasi suara Pemilihan secara manual dan/atau menggunakan sistem penghitungan suara secara elektronik diatur dengan Peraturan KPU.” Istilah yang digunakan di Pasal tersebut adalah “sistem penghitungan suara secara elektronik”. Dalam terminologi kepemiluan Indonesia, penghitungan suara merupakan penghitungan suara di TPS. Berbeda dengan rekapitulasi suara yang bermakna kegiatan tabulasi hasil penghitungan suara. Rekapitulasi suara dilakukan di luar TPS. Dan, UU Pilkada masih mengatur rekapitulasi dijalankan dengan mekanisme manual berjenjang. Memang, KPU, Bawaslu, LP3MI dan beberapa pegiat pemilu menilai Pasal 111 ayat (1) cukup sebagai landasan e-rekap. Namun, sekalipun Pasal tersebut dipandang cukup, payung hukum untuk e-rekap tidaklah cukup. UU Pilkada tidak mengatur bukti digital sebagai bukti yang sah secara hukum, lembaga atau pihak yang berwenang untuk mengaudit e-rekap, dan sanksi terhadap pelanggaran dalam proses rekapitulasi elektronik. Konsekuensi penerapan e-rekap tersebut tak dapat diatur di Peraturan KPU (PKPU).

Penerimaan Pemangku Kebijakan dan Publik

Bawaslu sebagai sesama penyelenggara pemilu telah mengatakan bahwa pihaknya memandang Pasal 111 ayat (1) cukup untuk menjadi landasan e-rekap. Namun, Bawaslu tak sepakat bila Sirekap menggantikan proses rekapitulasi manual berjenjang. Bawaslu hanya menghendaki agar Sirekap menjadi pendamping rekapitulasi manual. Ketidaksamaan pandangan antara KPU dan Bawaslu terkait status Sirekap tak boleh disepelekan. Kasus Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) membuktikan perlunya kesepahaman dari dua lembaga penyelenggara pemilu kita. Penerimaan dari pihak terkait lainnya juga belum terbaca. Uji coba Sirekap belum diadakan untuk partai politik, anggota DPR, dan Pemerintah. Penerimaan dari seluruh pihak terkait penting untuk menjaga legitimasi Sirekap.

Sirekap pun belum maksimal secara masif dan memadai disosialisasikan oleh KPU. Media sosial KPU tak menjelaskan duduk perkara Sirekap, seperti pentingnya e-rekap diterapkan, siapa yang membangun sistem Sirekap, dan bagaimana perjalanan persiapan Sirekap. Media sosial KPU hanya mempublikasi foto-foto uji publik Sirekap dengan informasi yang jauh dari memadai. Penerimaan semua pihak, termasuk publik, harus diupayakan oleh KPU. Tak ada penerimaan tanpa rasa percaya. Tak ada kepercayaan tanpa informasi yang memadai. Setiap teknologi kepemiluan yang dikembangkan mestilah bertujuan meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses dan hasil pemilu, bukan justru mendelegitimasi.

Maka mengingat, menimbang berdasarkan beberapa catatan tersebut, LP3MI menilai dan memandang rekapitulasi suara elektronik sangatlah penting untuk mengurai kompleksitas pemilu di Indonesia. Akan tetapi, penerapan Sirekap sebagai pilot project atau langsung menggantikan rekapitulasi manual di Pilkada 2020 ini dan di beberapa daerah bukanlah waktu yang tepat. Masih sangat diperlukan persiapan dari segi teknologi, SDM, dan regulasi yang memadai untuk memayungi penggunaan Sirekap ini. Untuk itu LP3MI merekomendasikan, untuk rekapitulasi suara di Pilkada 2020 tetaplah berbasis manual namun Sirekap digunakan sebagai data pembanding sekaligus sarana transparansi dan informasi publik.

Divisi Litbang LP3MI/



Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top