Sarankan Presidential Threshold 0%, LP3MI Bersiap Gugat UU Pemilu ke MK

Jakarta, LP3MI.ORG -- Lembaga Pemantau Pemilu Pemuda Muslimin Indonesia (LP3MI) melihat dan mendengar suara-suara yang ada di masyarakat saat ini sudah sangat keras terhadap presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20%. Ketentuan itu dianggap sangat menghalangi munculnya tokoh-tokoh potensial alternatif di luar partai politik untuk menjadi pilihan bagi rakyat.

“Kami dari LP3MI bersama elemen pemantau lainnya Kelompok akan berupaya mendorong judicial review terhadap Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20% ke Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Evick Budianto, direktur eksekutif LP3MI pada rapat rutin pimpinan harian di sekretariat LP3MI, Gedung Pemuda Muslimin lantai tiga, tanjungduren, Jakarta, Rabu (8/12/2021).

Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) atau Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai adanya ambang batas pencapresan itu, selain mengaburkan makna presidensial juga mereduksi partisipasi politik masyarakat karena pilihannya tidak terwakili. Menurut dia, ada beberapa hal mengapa harus meninggalkan presidential threshold.

“Pertama, jelas melenceng dari spirit keserentakan, adanya tendensi polarisasi keterbelahan seperti tahun 2014 lalu hingga saat ini, hingga menutup adanya tokoh alternatif,” ungkapnya.

Pengamat Politik dan Dosen Fisipol UGM Abdul Gaffar Karim membeberkan beberapa negara yang berhasil menerapkan sistem presidensial dengan multipartai seperti beberapa negara di Amerika Latin juga termasuk Indonesia. "Pada buku The Surprising Success of Multiparty Presidentialism oleh Carlos Pereira menjelaskan bahwa agar berhasil di sistem presidensial multipartai, seorang bahwa presiden harus sebagai jabatan kuat secara konstitusional, punya kekuatan untuk barter atau negosiasi atau dipertukarkan dengan parlemen, check and balances yang kuat," katanya.

Evick yang juga Aktifis kepemiluan juga memaparkan persoalan pesidential threshold ini sudah beberapa kali diuji materi dan gagal karena terus mengangkat persoalan yang sama. Untuk itu, Evick menyarankan, jangan lagi menggunakan argumen yang sama, paling tidak harus maju bersama-sama dari berbagai elemen ditambah kekuatan dari DPD RI dan akademisi dan mobilisasi rakyat yang juga sepaham dengan hal tersebut.

Evick menyarankan agar para pegiat pemilu dan lembaganya serta DPD RI harus satu suara, kemudian melakukan konferensi nasional untuk mendiskusikan ini dan didukung pers. “Menurut saya pers sangat berpengaruh untuk bisa memperbesar spektrum dari isu ini. Melalui jurnalism talk saya yakin mampu mendorong persoalan ini hingga orang mengetahui bahwa LP3MI dan lembaga lainnya serta DPD RI bersama rakyat mengusung kepentingan rakyat terkait PT ini,” tutup Evick.



Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top