Democracy for Sale: Membedah Elektoral Klientelisme dalam Politik Informal di Indonesia



JAKARTA, LP3MI.ORG - Democracy for Sale adalah judul buku yang ditulis oleh Ward Berenschot, Peneliti Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) bersama Edward Aspinall, Profesor pada Departemen Perubahan Politik dan Sosial, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University. Secara garis besar, buku ini menggambarkan politik dan demokrasi di Indonesia dalam ruang informal. Pemfokusan pada ruang informal sengaja diambil karena jarangnya studi yang menelaah kondisi politik Indonesia pada ruang informal.

“Seringkali orang kalau bicara politik Indonesia, mereka bicara soal politik formal. Yang dibicarakan adalah pidato calon atau strategi mereka di media massa. Maka, kita bicara apa yang ada di belakang politik formal, seperti jaringan calon, masalah uang, dan politik transaksional,” jelas Ward pada acara bedah buku di Gedung Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gatot Subroto, Jakarta Selatan (10/4/2019).

Ward menemukan tiga praktik yang khas dalam politik informal Indonesia. Pertama, politik transaksional yang salah satu kategorinya adalah jual beli suara. Ward menganalisis, jual beli suara yang dilakukan pada pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia tak hanya dilakukan melalui jaringan partai, melainkan juga oleh orang-orang yang merupakan bagian dari jaringan calon. Praktik ini tak ditemukan di India dan Argentina, sebab jual beli suara di kedua negara tersebut hanya dilakukan melalui jaringan partai politik.

Kekhasan kedua, yakni adanya tim sukses. Cerita mengenai tim sukses dan broker politik tak akan ditemukan pada politik India dan Argentina, sebab kampanye calon dilakukan oleh jaringan partai politik.

Kekhasan ketiga, yaitu broker politik. Para kandidat di Indonesia membentuk jaringan broker politik mulai dari tingkat nasional hingga rukun tetangga. Jaringan inilah yang dimanfaatkan oleh kandidat untuk melakukan politik uang sebagai cara menjalin hubungan dan meraup dukungan dari masyarakat.

Broker politik asing bagi India dan Argentina. Sebabnya, partai politik di India dan Argentina yang memiliki akses terhadap sumber daya negara telah menjalin hubungan dengan masyarakat setempat. Masyarakat India dan Argentina mendatangi kantor partai politik untuk mengurus berbagai ha katas pelayanan publik.

“Kalau Anda mengunjungi kantor partai politik di daerah (Indonesia), sepi. Tidak ada banyak orang. Kenapa sepi? Karena di Indonesia, kalau Anda mau mengurus pelayanan publik, seperti mengurus kamar rumah sakit, orang tidak datang ke partai politik, tetapi ke institusi negara seperti Pak RT, Pak Camat. Jadi, semua akses terhadap kekeayaan negara, itu lewat aparatur negara. Tapi kalau di India dan Argentina tidak begitu. Di sana, partai politik juga menguasai kekayaaan negara sehingga masyarakat mendekati partai politik,” urai Ward.

Ward menemukan kasus politik uang yang secara rapi dilakukan oleh salah satu calon anggota legislatif (caleg) di Kalimantan Tengah. Sang caleg membagikan mesin cuci, mesin pompa air, dan barang-barang lainnya kepada masyarakat agar dipersepsikan sebagai calon pemimpin yang murah hati oleh masyarakat.

“Saya temukan politik uang dimana caleg dengan sangat rapi membagi-bagikan barang. Hal semacam ini tidak terjadi di India dan Argentina, sebab partai sudah menjalin hubungan dengan masyarakat dari lama. Bandingkan dengan Indonesia, partai memulai hubungan dengan masyarakat kalau ada pemilu,” tukasnya.

Tiga ciri khas tersebut dinilai Ward sebagai penyebab mahalnya ongkos politik di Indonesia. Membentuk tim sukses dan broker politik, serta membeli suara pemilih membutuhkan uang yang tak sedikit.

“Jadi, ongkos politik mahal sekali. Itulah yang menyebabkan buku ini berjudul Democracy for Sale,” ungkap Ward.

Adapun penyebab lain dari mahalnya ongkos politik yakni diterapkannya sistem daftar terbuka sebagai sistem pemilihan legislatif dan ambang batas pencalonan kepala daerah. SIstem daftar terbuka dinilai mengakibatkan persaingan ganda, yakni antar partai dan antar calon. Sementara ambang batas pencalonan kepala daerah menyebabkan timbulnya mahar politik.

Partai politik di Indonesia lemah

Ward dan Aspinall menilai partai politik di Indonesia lemah. Selidik punya selidik, keduanya menduga ada dua penyebabnya, yakni korban dari kebijakan Orde Baru yang menggunakan birokrasi untuk menjaga politik status quo dan melarang aktivitas partai politik di daerah, serta politik Indonesia yang terlalu mengandalkan figur perorangan.

“Soeharto cenderung menggunakan jaringan birokrasi untuk menang. Tidak memperbolehkan aktivitas partai di tingkat bawah dan diamenggunakan kepala desa, camat, lurah, untuk bagi-bagi keuntungan negara demi dapat dukungan. Jadi, ketika zaman reformasi dimulai, partai politik sudah lemah. Ada persaingan antara partai dan sistem birokrasi,” kata Ward.

Praktik elektoral klientelisme di Indonesia
Ward melakukan survei terhadap 509 ahli politik, yakni dosen, pengamat, jurnalis, dan aktivis. Pun, mewawancarai anggota dari 14 partai politik di 38 kabupaten/kota. Hasil survei menunjukkan, pemberian kontrak kepada pebisnis yang mendanai kampanye sang kepala daerah umum dilakukan di Kalimantan dan wilayah Indonesia bagian timur. Hasil survei lainnya, pengangkatan aparatur sipil negara (ASN) oleh kepada daerah terpilih umum terjadi di kota-kota besar di Jawa, dan marak terjadi di Kalimantan dan wilayah Indonesia bagian timur.

Dari pertanyaan-pertanyaan survei yang disusun, Ward dan Aspinall kemudian membuat indeks tingkat electoral klientelisme dengan skor 0 sampai 10. Skor kecil untuk wilayah-wilayah di Sumatra, dan skor tinggi di wilayah-wilayah Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Skor tertinggi ada di Kupang. Di sana, menurut para ahli, klientelisme terjadi paling masif,”

Ward berpendapat, penyebab terjadinya elektoral klientelisme adalah kemiskinan. Ia juga menemukan adanya hubungan erat antara klientelisme dengan keragaman jenis perkenomian masyarakat, bahwa semakin beragam jenis perekonomian, tingkat klientelisme semakin turun.

“Di buku, kami tulis, kalau ada kemiskinan, ada praktik politik uang dan klientelisme. Kami menemukan hubungan kuat antara klientelisme dengan diversifikasi ekonomi. Kalau industri ada sektor macam-macam, praktik klientelisme cenderung turun,” ujarnya.

Reformasi elektoral dibutuhkan

Para penulis menyimpulkan bahwa dibutuhkan suatu reformasi elektoral untuk menekan ongkos politik. Mahalnya ongkos politik menyebabkan korupsi politik dan memperkuat oligarki dalam demokrasi. Dalam konsep citizenship atau kewarganegaraan, kekuasaan semestinya dapat dipegang oleh semua orang dari berbagai strata sosial dan ekonomi, bukan hanya warga negara berekening gemuk atau bagian dari keluarga yang berkuasa.

“Karena mahalnya ongkos politik, hanya orang kaya yang bisa berpartisipasi sebagai calon di pemilu. Oligarkis sangta kuat. Untuk merubah hal ini, perlu reformasi sistem elektoral untuk mengurangi ongkos politik,” tutup Ward.

(Lembaga Pemantau Pemilu Pemuda Muslimin Indonesia - LP3MI)


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top