Firman Noor: Catatan Untuk Partai-partai Baru



Jakarta, LP3MI.ORG --
Saat ini beberapa partai politik baru bermunculan dan mendeklarasikan diri. Fenomena itu biasa dalam kehidupan demokrasi. Demokrasi merupakan medium yang paling membuka peluang bagi kehadiran partai-partai hingga Max Webber (1990) menyebut parpol sebagai anak kandung demokrasi. Di sisi lain, demokrasi tak dapat hidup dengan baik dan layak tanpa kehadiran parpol (Schattschneider, 1942).

Kehadiran partai-partai baru dalam kondisi demokrasi kita saat ini patut diapresiasi bahkan disyukuri. Ini menunjukkan bahwa apatisme politik tak menjangkiti seluruh kalangan. Masih terdapat kelompok yang memiliki idealisme untuk berbuat sesuatu bagi kehidupan politik kita. Adanya partai-partai baru dengan berbagai idealisme dan kepentingannya juga penting mengingat keberadaan mereka menjadi hal yang memungkinkan masih terjadinya kontrol bagi kekuasaan.

Tanpa kehadiran partai-partai baru, akan muncul semacam stagnasi dalam kehidupan politik demokrasi, termasuk soal mutu checks and balances.


Tantangan partai baru

Setidaknya ada lima hal yang saling berkelindan atau bertautan yang tak dapat dibaikan untuk bisa dapat mendeklarasikan diri dan bertahan dalam kehidupan politik di Indonesia.

Pertama, partai-partai baru harus memiliki basis massa riil sebagai modalitas politik. Konkretnya, konstituen atau basis politik-kultural berdasarkan garis ideologi politik yang ada di Indonesia. Basis-basis politik, apakah komunitas kalangan nasionalis, Islam modernis, Islam tradisionalis, atau lainnya, merupakan basis-basis konstituen yang penting untuk dimiliki, bahkan dikuasai. Hanya partai yang memiliki basis dukungan nyata yang bisa bertahan dalam percaturan politik nasional.

Pengalaman partai-partai baru yang tak lolos ambang batas parlemen adalah karena mereka tak memiliki basis massa memadai. Kebanyakan bergantung pada jaringan terbatas yang hanya ada di permukaan atau di kota besar. Mereka secara mendasar tak mewakili atau teridentifikasikan sebagai bagian atau penyalur aspirasi kelompok budaya politik tertentu. Meski tak jadi jaminan, partai yang memiliki ikatan kultural tinggi dengan kelompok budaya politik tersebut punya peluang lebih besar ketimbang yang tak memiliki.

Kedua, partai-partai baru harus mampu bekerja sebagai mesin politik yang hidup dan berjalan secara efektif di tengah masyarakat. Partai harus menjadi semacam political enabler yang bergerak secara aktif, terprogram, dan tepat mengarah baik kepada tokoh-tokoh kunci, basis-basis politik yang berpengaruh, maupun akar rumput.

Untuk itu, tak saja perlu pemahaman yang memadai atas kondisi atau peta politik dan kerja-kerja konkret membangun jaringan dan simpul-simpul politik di tengah masyarakat. Pengalaman partai baru yang tak lagi terdengar adalah karena partai tak segera bergerak secara militan di tengah masyarakat, atau tak cukup efektif mendekati masyarakat karena minim pemahaman atas konstelasi politik yang ada.

Ketiga, visi, misi, agenda, dan program partai yang relevan, kontekstual, dan mencerahkan. Itu penting karena pemilih saat ini cenderung kian memperhitungkan ini, seiring dengan semakin kritis dan pragmatisnya masyarakat.

Beberapa hasil survei mengindikasikan, pilihan politik masyarakat dipengaruhi alasan-alasan rasional yang tertuang dalam visi, misi, atau agenda partai. Hasil survei LP3ES (2021), misalnya, menyatakan tiga besar alasan pemilih dalam memilih partai: (1) loyalitas kepada partai, (2) visi dan misi partai, dan (3) memihak (peduli) rakyat kecil.

Eksistensi partai akan tak banyak bermakna jika agenda politiknya dipandang tak sejalan dengan kepentingan masyarakat banyak. Ini logis mengingat partai merupakan media menyalurkan aspirasi yang tak boleh jadi eksklusif dan terjebak memori atas kejayaan masa lalu (the glory of the past). Sebagai partai baru, tuntutan agenda politik yang khas ini juga penting, sebab jika tak ada sesuatu yang baru untuk ditawarkan, akan dipandang tak ada beda dengan partai yang sudah ada.


Kekuatan finansial

Keempat, kekuatan finansial juga sangat penting. Konsekuensi paling nyata dalam kehidupan demokrasi adalah politik berbiaya tinggi. Prosesi meyakinkan banyak orang, dari mereka yang tak paham menjadi pemilih, jelas membutuhkan dukungan perangkat yang memungkinkan itu terjadi. Apalagi terdapat pesaing yang melakukan hal yang sama dalam waktu bersamaan. Tak heran jika penggalangan dana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam momen-momen pemilu di negara-negara demokrasi.

Di negara demokrasi maju, penggalangan dana dikelola secara profesional, melibatkan jaringan partai atau sukarelawan. Kebutuhan finansial ini jelas tak terbantahkan dalam kehidupan politik kita. Apalagi beberapa kajian menunjukkan Indonesia termasuk negara dengan biaya politik amat tinggi, dan juga politik uang tertinggi di dunia (Aspinall dan Berenschot, 2019). Ini karena transaksi politik demikian tinggi, melibatkan elite hingga rakyat kebanyakan.

Partai yang tak memiliki kekuatan ini tak mudah bersaing dengan partai lain meskipun tak menjamin bahwa kekuatan finansial akan berbanding lurus dengan kesuksesan pemilu. Hanya saja, sebagai debutan, upaya mendongkrak popularitas dan meyakinkan pemilih jadi lebih berat. Di sini peran kekuatan finansial itu bermakna.

Kelima, harus sedapat mungkin mampu merebut dukungan tokoh-tokoh, baik pada level nasional maupun lokal. Keberadaan tokoh memiliki nilai praktis yang dampaknya tak sederhana, yakni secara internal dapat mempersatukan kader dengan beragam latar belakang dan mengatasi sekat-sekat komunikasi. Ini sangat diperlukan partai-partai baru yang masih dalam tahap awal formasinya.

Tokoh juga bisa memudahkan dalam meluaskan dukungan ke akar rumput. Ketiadaan tokoh-tokoh yang mumpuni menjadi penyebab kemunduran partai-partai baru karena kebuntuan dalam mendapatkan akses politik ke masyarakat. Ketokohan juga dapat membangun rasa bangga dan memotivasi kader dalam melakukan yang terbaik untuk partai.

Berdasarkan beberapa survei, faktor ketokohan masih diperhitungkan masyarakat saat memilih. Namun, ketokohan ini harus dijaga proporsinya hingga tak menimbulkan ketergantungan dan mematikan demokrasi internal.

Kelima hal di atas merupakan batasan minimal yang harus berjalan simultan. Artinya, ada faktor-faktor lain yang juga turut memengaruhi kesuksesan sebuah partai baru.

Prof. Dr. Firman Noor, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top