Semarak Partai Politik Baru Ramaikan Bursa Pemilu 2024

Jakarta, LP3MI.ORG -- Jaminan kebebasan untuk berkumpul dan berserikat pascareformasi berdampak pada munculnya partai-partai politik baru setiap menjelang pemilihan umum. Tiga tahun menjelang Pemilu 2024 pun, sejumlah parpol baru sudah berancang-ancang meraih mimpi untuk turut serta dalam kontestasi untuk meraih kekuasaan.

Gelora mimpi itu antara lain menyeruak dari Gedung Pusat Perfilman Umar Ismail, Jakarta, Selasa (1/6/2021) malam. Bertepatan dengan peringatan hari lahir Pancasila, Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) dideklarasikan. Lagu ”Darah Juang” yang menjadi lagu perjuangan mahasiswa saat Reformasi 1998 menggema di gedung itu.

Partai itu didirikan oleh para aktivis mahasiswa yang pernah tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD). Mantan Ketua Umum PRD Agus Priyono yang lebih dikenal dengan panggilan Agus Jabo didaulat menjadi Ketua Umum PRIMA.

Meski sudah mengantongi Surat Keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 29 September lalu, PRIMA masih harus menyiapkan pengurus berikut kantor perwakilan dari pusat hingga daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Untuk bisa mengikuti pemilu, parpol harus memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, 75 persen kabupaten/kota, serta memiliki kepengurusan 50 persen kecamatan. Juga memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 atau 1/1.000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota.

Agus Jabo mengakui, pertarungan untuk dapat menjadi peserta pemilu tidaklah mudah. ”Target terdekat kami ialah lolos verifikasi faktual KPU dan menjadi peserta pemilu. Jaringan kami di daerah sedang kami siapkan dan beruntung soal jaringan ini tidak terlalu sulit untuk digerakkan,” katanya.

Bekal sebagai aktivis Reformasi dan kebiasaan organisatoris yang dekat dengan massa buruh, tani, dan rakyat kebanyakan, diakui Agus, memberi akses kepada PRIMA untuk menyiapkan kepengurusan di daerah. Dananya berasal dari gotong royong atau crowdfunding. Targetnya tak muluk- muluk, cukup lolos ambang batas parlemen 4 persen.


Siapkan infrastruktur

Selain PRIMA, ada pula Partai Gelora Indonesia, yang juga disiapkan untuk bertarung dalam kontestasi politik 2024. Partai yang dibidani oleh mantan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), yakni Fahri Hamzah, Anis Matta, dan Mahfudz Siddiq, itu disahkan Kemenkumham pada 19 Mei 2021.

Mahfudz, yang didaulat menjadi Sekretaris Jenderal Partai Gelora, menuturkan, saat ini Partai Gelora masih terus menyiapkan infrastruktur agar dapat lolos menjadi peserta Pemilu 2024. Saat ini setidaknya Partai Gelora sudah punya pengurus di seluruh provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 5.500 kecamatan. ”Nanti untuk tingkat kecamatan juga akan dituntaskan sampai 100 persen, sedangkan untuk desa dan kelurahan sampai 2022 minimal 75 persen,” katanya.

Tak hanya itu Partai Gelora juga terus merekrut anggota demi memenuhi target 1,2 juta pada akhir tahun 2021.  “Rekrutmen dilakukan juga melalui daring, karena Covid-19. Saat ini, ada 185.000 anggota yang terdaftar. Karena pertumbuhan anggota dalam 4 bulan ini stabil 10-12 persen, kira-kira ada 2.500 orang yang mendaftar perharinya, dengan pendekatan member get member,” katanya.

Partai pimpinan Anis Matta itu juga sedang menyiapkan infrastruktur komunikasi. Sebab, tren komunikasi digital dinilai sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan. Gelora antara lain membangun Gelora TV yang dimulai sejak 2021. Media sosial (medsos) menjadi fokus untuk menjangkau masyarakat lebih luas di tengah situasi pandemi.

“Kami menyadari Partai Gelora ini lahir di situasi krisis dan pandemi, sehingga tidak mudah menarik orang untuk terlibat ke dalam parpol atau politik. Kami menyadari itu, oleh karenanya kami tidak ingin pembangunan infrastruktur partai ini berlarut-larut sampai mendekati pemilu,” ujar Mahfudz.

Meski para petinggi Gelora sebelumnya merupakan kader militan PKS, Mahfudz menegaskan, partainya punya platform terbuka. Gelora tidak mempertentangkan kepentingan umat Islam dengan kepentingan bangsa. Isu yang diusung adalah Indonesia, yang di dalamnya juga terdapat kepentingan umat Islam.

“Politik pembelahan berdasarkan aliran lebih banyak merugikan kepentingan umat Islam. Orientasi Partai Gelora basis pertama ialah umat Islam, tetapi isu orientasinya ke tengah. Jadi, kepada moderasi politik Islam. Agenda politik Islam memajukan kesejahteraan ekonomi, menaikkan standar kehidupan rakyat yang notabene mayoritas Islam, bukan dengan pendekatan representasi yang tergambar dalam politik aliran,” ucapnya. Dengan memilih sebagai parpol terbuka, Gelora meyakini tak hanya bakal menjadi peserta Pemilu 2024, tetapi juga lolos ambang batas parlemen 4 persen.


Partai alternatif

Ada pula Partai Ummat yang didirikan oleh tokoh reformasi, Amien Rais. Partai ini lahir dari dorongan untuk memanfaatkan ketidakpercayaan publik terhadap tatanan politik yang ada. ”Parpol-parpol di Senayan itu sudah kehilangan jati diri dan marwah untuk menjadi juru bicara rakyat. Atas fakta-fakta itu, rakyat merindukan partai alternatif. Kami optimistis partai ini bisa mengisi kekosongan dan kerinduan umat terhadap partai yang bisa menjadi corong suara rakyat,” tutur Agung Mozin, Wakil Ketua Umum Partai Ummat.

Partai Ummat didirikan oleh Amien Rais, tokoh reformasi yang turut membidani lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN) tahun 1998. Karena itu, para anggota serta pengurus Partai Ummat pun tidak sedikit yang sebelumnya berada di kapal PAN.

Tidak sedikit pula kader persyarikatan Muhammadiyah bergabung dengan Partai Ummat. Amien yang juga pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Muhammadiyah membuat  Partai Ummat terasa dekat secara ideologi dengan persyarikatan itu.  Menurut Agung, daya tarik Amien Rais bagi warga Muhammadiyah, yang dikombinasikan dengan kekuatan jaringan di daerah menjadi kekuatan bagi partainya untuk bisa bersaing di 2024.

Tiga hal yang kerap tidak dimiliki oleh partai baru ialah jaringan, pendanaan atau logistik, dan tokoh kuat. Namun, menurut Agung, Partai Ummat memiliki semuanya. “Soal pendanaan, kami buat kantor tidak keluarkan uang sepeser pun. Orang-orang bersimpati membantu kami, dan itu tidak terjadi kalau misalnya Pak Amien Rais, dan cita-cita Partai Ummat ini tidak dipercaya publik,” katanya.

Karena itu,  Partai Ummat berani memasang target tinggi pada Pemilu 2024, yakni di atas 10 persen atau double digit. Target itu dinilai realistis jika melihat kondisi saat ini, di mana banyak orang merasa diperlakukan tidak adil, dizalimi, sehingga mereka akan mencari kanal politik lain, atau partai alternatif untuk menyalurkan suara mereka. “Tanpa kami rangkul, mereka akan datang ke kami,” ucapnya.

Faktor Amien Rais, menurut Agung, masih kuat, karena kelompok ideologis akan banyak melihat figur Amien sebagai tokoh Reformasi. Demikian halnya dengan warga Muhammadiyah, lantaran garis perjuangan Partai Ummat diklaim seturut dengan perjuangan Muhammadiyah. Di sisi lain, ketokohan Ketum Partai Ummat, Ridho Rahmadi, yang masih muda, menunjukkan salah satu fokus Partai Ummat untuk menggaet pemilih dari kalangan milenial. Hal itu antara lain didasari oleh kesadaran pemilih 2024 akan didominasi oleh anak-anak muda.

Meski merasa telah memiliki semua prasyarat parpol baru, sampai saat ini pendirian Partai Ummat belum disahkan oleh Kemenkumham. Agus memperkirakan, dua bulan ke depan, Kemenkumham sudah menerbitkan SK pendirian Partai Ummat.

Pada saat bersamaan, seperti halnya partai baru lainnya, Partai Ummat tengah berjuang keras untuk menyiapkan kepengurusan di daerah agar bisa lolos verifikasi faktual. Jaringan kepengurusan di daerah masih sedang dibangun.


Politik aliran

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, melihat, ada dua pemicu pendirian parpol baru, yakni representasi politik aliran dan pecahan dari parpol lama. Lahirnya Partai Ummat dan Gelora dapat dibaca sebagai bagian dari pecahan parpol lama, yakni PAN dan PKS. Adapun untuk PRIMA dipandang sebagai representasi politik aliran. Keduanya sama-sama sah dan tidak mengingkari sejarah parpol-parpol di Tanah Air.

”Itu pula yang menjelaskan kenapa pada 1955 itu banyak partai, karena pasca-kemerdekaan itu muncul berbagai mazhab atau aliran. Hanya melalui parpol, perjuangan itu dapat diejawantahkan,” katanya.

Meski baru, potensi ketiga parpol itu relatif besar. Ini karena baru 25 persen pemilih yang sudah menentukan pilihannya, sementara 75 persen lainnya merupakan pemilih mengambang yang belum menentukan parpol yang akan dipilih pada pemilu. Tingginya pemilih mengambang ditengarai disebabkan rendahnya kemelekatan identifikasi pemilih dengan parpol atau party id.

”Sebagian besar pemilih kita belum merasa sebagai bagian dari parpol dan tidak tertarik dengan parpol. Survei yang kami lakukan Desember 2020-Januari 2021, party id 26 persen,” kata Adi yang juga Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia.

Pemilih mengambang itu tentu bisa menjadi ceruk bagi parpol-parpol baru. Namun, problem yang acap kali muncul adalah parpol-parpol baru kerap kesulitan lolos menjadi peserta pemilu. Parpol-parpol baru gagal membentuk kepengurusan dan mendirikan kantor di seluruh provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan. ”Partai kerap gagal di situ karena bagaimana mau berkontestasi dalam pemilu jika pengurus dan kantor saja tak punya,” ujarnya.

Jikapun lolos, biasanya perolehan suara parpol baru tak memenuhi ambang batas parlemen yang telah ditentukan. Lihat saja perolehan suara Pemilu 2019. Dari tujuh parpol peserta pemilu yang tak lolos ambang batas parlemen 4 persen, empat di antaranya merupakan parpol baru, antara lain Partai Solidaritas Indonesia yang meraih 1,89 persen suara sah nasional, Partai Berkarya (2,09 persen), Partai Garuda (0,50 persen), dan Partai Persatuan Indonesia atau Perindo (2,67 persen).

Karena itu, menurut Ardi, parpol baru harus memperkuat diferensiasi dengan parpol lainnya. Jika parpol baru tak mampu menjual program yang berbeda dengan parpol yang sudah ada, publik mungkin tak akan tertarik karena dianggap sama saja dengan parpol lainnya. Faktor jaringan, logistik atau pendanaan, dan kehadiran tokoh sentral yang kuat juga menjadi hal penting bagi kultur politik di Indonesia.

Rupanya, bekal menjadi aktivis reformasi dan ketokohan saja belum cukup untuk membangun parpol. Perlu perjuangan dan modal untuk bisa lolos menjadi peserta pemilu dan merebut kuasa di parlemen. Lalu, akankah parpol-parpol baru yang bersaing untuk Pemilu 2024 berhasil merebut angka? Tentu, keputusan ada di tangan rakyat… 


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top