Tantangan Kecenderungan Otoritarian Dalam Sistem Presidensial, Mungkinkah?

Jakarta, LP3MI.ORG -- Dalam kalimat singkat, sistem presidensial adalah sistem pemerintahan yang memberikan kekuasaan puncak kepada seorang presiden. Tak semua presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum, tetapi juga dapat dipilih badan perwakilan rakyat. Indonesia pernah menjalankan model pemilihan presiden oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) pada tahun , kemudian presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sejak Pemilu 2004.


Sejarah sistem presidensial

Presidensial sebagai sistem pemerintahan lahir sebagai alternatif, baik untuk sistem pemerintahan monarki (absolut atau konstitusional) maupun sistem parlementer (republik atau monarki). Asal-usul sejarah dan latar belakang teoretisnya dapat ditemukan dalam pemerintahan monarki. Gagasan bahwa satu orang dapat memegang jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan pada sistem presidensial mirip dengan konsep monarki tradisional.

Dalam hal evolusi historis teori bentuk pemerintahan, presidensial mengambil dimensi republik sebagai lawan dari monarki. Sedangkan dalam tatanan republik, ia mengambil dimensi demokrasi sebagai lawan dari sebuah aristokrasi.

Konsep penting dari sistem presidensial ialah pemisahan kekuasaan. Trias politica yang digagas oleh John Locke menjadi jantung konsep presidensial. Terdapat tiga ranting kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Karena adanya pembagian kekuasaan ini, meskipun terdapat konsentrasi kewenangan besar di tangan organ unipersonal, yakni kepresidenan, yang dapat dengan mudah membuat presidensial mengarah pada penyimpangan otoriter, presidensial seharusnya tetap dapat memenuhi harapan demokrasi. Pasalnya, sumber legitimasi kekuasaan seorang presiden adalah rakyat melalui pemilu, dan lembaga legislatif yang juga berfungsi melaksanakan check and balances juga diisi oleh orang-orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu.

“Jelas, tidak setiap sumber legitimasi legal-rasional dan tidak setiap jenis pemilu itu sendiri bersifat demokratis. Namun, dalam kasus presidensial, kedua elemen tersebut pada umumnya terkait dengan perspektif demokrasi. Dibandingkan dengan sumber legitimasi tradisional dan karismatik, sumber legitimasi presidensial bersifat impersonal. Dan berbeda dengan alternatif otokratisnya, legitimasi presiden mengalir dari bawah ke atas sebagai ekspresi otonomi politik warga negara,” sebagaimana dikutip dari tulisan Fierro and Salazar, Presidentialism halaman 2.

Secara umum, ada enam ciri-ciri sistem presidensial yang membedakannya dengan sistem pemerintahan lain seperti sistem parlementer dan semi presidensial. Pertama, pemerintahan dan negara dipimpin langsung oleh presiden. Kedua, presiden selaku lembaga eksekutif diangkat melalui pemilihan rakyat atau badan perwakilan rakyat. Ketiga, presiden punya hak istimewa atau disebut dengan hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri atau pejabat setingkat menteri. Keempat, menteri bertanggung jawab langsung kepada presiden. Kelima, presiden tidak memiliki tanggung jawab kepada kekuasaan legislatif. Keenam, presiden tak dapat dipecat oleh lembaga legislatif sehingga presiden merupakan pemimpin eksekutif dengan masa jabatan tetap atau fixed term period. Di Indonesia dan beberapa negara di dunia mengizinkan adanya pemakzulan oleh legislatif terhadap presiden, namun hal ini sangat langka terjadi karena pemakzulan hanya dapat dilakukan jika terdapat hal luar biasa.


Ambiguitas ambang batas pencalonan presiden

Dalam pelaksanaan sistem presidensial di Indonesia, dengan alasan utama untuk menjamin presiden mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen sehingga tidak terjadi deadlock pemerintahan, diterapkan ambang batas pencalonan presiden yang sering disebut dengan presidential threshold. Sebuah istilah yang salah digunakan, sebab presidential threshold mengacu pada keterpilihan seorang calon presiden, bukan pencalonan presiden.

Ambang batas pencalonan presiden diterapkan dalam pemilihan presiden (pilpres) di Indonesia sejak Pemilu 2004, atau sejak pertama kali presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Saat itu, pasca amandemen ketiga konstitusi, lewat UU No.23/2003 tentang Pemilihan Presiden, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) memberlakukan ambang batas pencalonan presiden sebesar 15 persen dari jumlah kursi DPR, atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR. Namun, pada Pasal 101 di UU tersebut diberikan keringanan khusus untuk Pilpres 2004. Partai politik atau gabungan partai politik di DPR yang memiliki suara sebesar minimal 3 persen dari jumlah kursi DPR dapat mengusulkan pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden. Keringanan juga diberikan kepada partai atau gabungan partai yang berhasil memperoleh minimal 5 persen dari suara sah nasional Pemilihan anggota DPR 2004.

Angka ambang batas pencalonan presiden kemudian dinaikkan di Pilpres 2009. Pasal 9 UU No.42/2008 tentang Pemilihan Presiden mengatur agar paslon diusulkan oleh partai atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR, atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Aturan ini dipertahankan hingga Pilpres 2019.

Menurut Scott Mainwaring, pada negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial dan sistem politik demokrasi, atau gabungan keduanya diistilahkan dengan demokrasi presidensial, memiliki dua ciri yang membedakan. Salah satunya ialah, bahwa kepala pemerintahan dipilih secara independen dari badan legislatif. Artinya, pemilihan legislatif atau negosiasi pasca pemilihan tidak menentukan kekuasaan eksekutif. Distingsi ini menegaskan bahwa pemilihan presiden bukanlah bagian dari proses negosiasi di lembaga legislatif, baik sebelum maupun sesudah pemilu. Dengan demikian, maka ambang batas pencalonan presiden merupakan suatu anomali atau bertentangan dengan sistem demokrasi presidensial. Presiden bukanlah produk hasil negosiasi lembaga legislatif.

Djayadi Hanan, dalam opininya berjudul “Ambang Batas Presiden”, bahkan menilai aturan ambang batas pencalonan presiden membuat Indonesia tak dapat disebut sebagai negara dengan sistem presidensial murni. Pembentuk undang-undang, dengan menggunakan logika yang salah, membuat pemilu legislatif menjadi prasyarat pilpres.

Aturan ambang batas pencalonan presiden telah berkali-kali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun tak satu pun permohonan dikabulkan. Pada Oktober 2018, MK menolak dan tidak mengabulkan empat perkara permohonan uji materi ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden yang terdapat di Pasal 222 UU No.7/2017 tentang Pemilu. Alasan MK, MK mempertimbangkan penguatan sistem presidensial, tak ada perubahan ketatanegaraan yang membuat MK harus merubah sikap, dan ambang batas pencalonan presiden merupakan open legal policy yang merupakan hak pembentuk undang-undang. Padahal, penguatan sistem presidensial semestinya dilakukan tanpa harus menyebrang dari konsep sistem demokrasi presidensial yang secara resmi diterapkan di Indonesia.


Presidensialisme dan tantangan menambah masa jabatan

Di berbagai negara dengan sistem presidensial, ujian bagi demokrasi kerap berupa perpanjangan masa jabatan presiden. Di kawasan Amerika Latin, presiden di beberapa negara telah mengubah konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Di Bolivia misalnya, pada 2016, melalui Referendum, mantan presiden Evo Morales mengubah konstitusi 2009 yang hanya memperbolehkan presiden untuk menjabat secara bertutur-turut dua periode. Batasan maksimal periode jabatan dihapus. Aturan ini telah jauh berubah dari konstitusi sebelum 2009 yang hanya memperbolehkan seorang presiden menjabat selama satu periode lima tahun.

Di Kolombia, presiden Alvaro Uribe mencoba mengubah undang-undang untuk bisa mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua. Namun, usaha tersebut tak berhasil.

Di Kazakhstan, terdapat undang-undang yang menyebutkan bahwa Presiden Nazarbayev dapat menjabat seumur hidup, namun presiden setelahnya, dibatasi maksimal dua periode.

Di Peru, dimana presiden tidak boleh mencalonkan diri secara langsung setelah periode pertama (begitu juga dengan anggota keluarganya yang tak boleh menggantikan sang presiden segera setelah periodenya berakhir), ketentuan ini dicoba untuk diubah. Namun, masyarakat sipil kukuh mempertahankan agar peraturan tak berubah, sebab tanpa pembatasan tersebut, mengingat kewenangan presiden Peru yang sangat besar, maka pemilu akan melahirkan seorang diktator.

Angin ujian yang sama mencoba menerpa demokrasi Meksiko. Aturan masa jabatan presiden enam tahun dan tak dapat diperpanjang lagi diusulkan untuk diubah. Padahal, aturan ini merupakan buah dari perjalanan sejarah bangsa usai berakhirnya masa kekuasaan Presiden Porfirio Diaz selama tiga dekade.

Sejarah yang sama membawa Indonesia pada amandemen konstitusi pertama terhadap Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi maksimal dua periode bagi presiden, baik secara berturut-turut maupun berselang. Aturan ini didorong oleh beberapa pihak untuk diterobos dengan alasan presiden saat ini bekerja dengan baik, menghindari polarisasi di pilpres, juga memberikan kesempatan kepada Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan masalah pandemi Covid-19 dan pembangunan yang tertunda akibat pandemi.

Usulan tersebut ditolak oleh berbagai kalangan, utamanya pegiat isu demokrasi, aktifis Pemilu dan akademisi. Bahkan, Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Pemilu Pemuda Muslimin Indonesia (LP3MI), Evick Budianto, turut berkomentar. Ia mengatakan bahwa ketika konstitusi diubah untuk memperpanjang masa jabatan presiden, bukan tak mungkin akan dilakukan penambahan lagi di kemudian hari. Hal tersebut berpotensi besar merusak tradisi ketatanegaraan dan kebangsaan.

“Kalau dibuka lagi satu periode, tidak menutup kemungkinan akan dibuka lagi satu periode. Ini akan sangat tidak baik dalam membangun tradisi kenegaraan dan kebangsaan kita. Nanti bisa diubah untuk kepentingan kekuasaan sesaat,” tegas Evick.

Presiden Joko Widodo sendiri mengatakan bahwa dirinya tak berniat untuk mencalonkan diri kembali. Ia tegak lurus terhadap konstitusi. Namun, isu amandemen konstitusi tengah muncul ke permukaan dengan ragam agenda, salah satunya menghidupkan kembali garis-garis besar haluan negara atau GBHN.

Akankah Indonesia memperpanjang periode masa jabatan presiden dari maksimal dua periode menjadi tiga periode? Evick, Dengan tegas menyampaikan, “Kalau wacana tiga periode itu benar-benar terjadi, maka mutu pemilu itu terancam di ujung tanduk. Ini akan mengakhiri demokrasi pasca orde baru, dan menjadi terburuk sepanjang sejarah demokrasi di Tanah tumpah darah”


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top