Demokrasi Indonesia dan Arah Perkembangannya di Masa Pandemi COVID-19

 

Jakarta, LP3MI.ORG  -- Jum'at 4 September 2020, Membicarakan masa depan demokrasi pada umumnya akan mengarah setidaknya pada dua hal, yakni penguatan demokrasi atau pelemahan demokrasi. Dalam hal pelemahan demokrasi, ada dua model atau varian. Pertama, mengarah kembali pada kondisi otoriter (authoritarian resurgence) dan kedua, mengalami kondisi yang disebut oleh Colin Crouch (2004) sebagai “post-democracy”.

Artikel ini tidak akan membahas masalah penguatan demokrasi, mengingat tidak ada tanda-tanda mengarah ke situ. Namun penulis juga tidak akan membahas masalah kembali ke kondisi otoriter, karena secara objektif kondisi politik saat ini tidak mengarah ke sana. Kondisi politik kita lebih pas dilihat tengah bergerak ke bentuk model post-democracy. Inilah hakikat situasi politik kita sebelum pandemi COVID-19 terjadi. 

Post-Democracy

Sebelum melangkah lebih lanjut, akan dijelaskan makna post-democracy. Istilah ini dipopulerkan oleh Colin Crouch seorang sosiolog Inggris yang juga pengamat demokrasi. Dalam kondisi post-democracy ini, terdapat beberapa kecenderungan. Pertama, keterlibatan masyarakat dalam dunia politik bersifat terbatas atau artifisial saja. Hampir semua aspek kehidupan politik ditentukan oleh elite, khususnya elitenya elite (crème a la crème). Persetujuan pusat atau pimpinan pusat amat menentukan dan mewarnai segenap kehidupan kader partai dimana pun berada.

Kedua, dalam situasi di atas, partai bukan lagi sebagai sarana penyalur kepentingan rakyat. Partai tidak lagi menjadi alat sebuah basis politik, namun alat kepentingan pemilik partai. Partai dikelola secara eksklusif (top-down) layaknya “firma politik” dan mengandalkan pendistribusian material yang cenderung sentralistis, yang mengakibatkan pendiri/penyandang utama dana partai menjadi pusat segalanya. Visi dan gerak partai lebih ditentukan oleh saran-saran political advisor yang berorientasi mengakomodir kepentingan elite dan oligarki, ketimbang kepentingan riil masyarakat akar rumput.

Ketiga, terdapat kecenderungan menggunakan cara-cara populisme dan artifisial (post-truth) dalam berpolitik. Hal ini karena pada kondisi post-democracy pertarungan ide tidak diperlukan, yang terpenting adalah bagaimana membangun pencitraan dan memenangkan emosi pemilih dengan janji-janji politik yang menggiurkan. Berkembang sebuah kontestasi seputar meningkatkan citra diri dan menjatuhkan kelompok lawan, yang akhirnya berujung pada pembodohan dan penurunan kualitas demokrasi.

Keempat, hal ini beriringan dengan kecenderungan people ignorance. Dalam banyak momen politik, antusiasme berpolitik masyarakat menurun. Masyarakat juga pada umumnya tidak memahami duduk persoalan, hanya terpaku pada fenomena permukaan. Hal ini terjadi karena kepedulian politik yang semakin rendah terutama karena dunia politik telah dianggap tidak berkenaan langsung dengan mereka, selain karena terlalu banyaknya tipu daya.

Kelima, sebagai dampak dari itu semua, hilangnya penghormatan terhadap institusi, proses dan nilai demokrasi. Inilah yang menyebabkan pengelolaan partai menjadi jauh dari hakikat demokrasi. Begitu pula lembaga-lembaga negara telah menjadi “pelayan oligarki” yang akhirnya berdampak pada rendahnya penghormatan masyarakat kepada mereka. Hilangnya respek juga tercermin dari terus terjadinya manipulasi, kecurangan, dan pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu yang berujung pada munculnya pemerintahan yang eksklusif. Sementara itu, redupnya norma-norma demokrasi menyebabkan mudahnya demokrasi memicu konflik politik atau terbajak kepentingan sesaat para elite.

Kondisi Demokrasi Indonesia

Beberapa kecenderungan inti post-democracy di atas pada umumnya terjadi di Indonesia. Inilah yang menyebabkan secara substansi demokrasi kita menjadi elitis dan dikangkangi oleh kekuatan oligarki yang sulit ditandingi. Ini terjadi baik pada level nasional maupun lokal. Dengan kondisi demikian, munculah sebuah demokrasi tanpa demos.

Fenomena ini bukan hanya terjadi pada saat ini, namun telah memiliki gejala-gejala sejak awal reformasi. Tercermin dari berbagai istilah yang diberikan oleh beberapa pemerhati politik Indonesia, seperti “Delegative Democracy” (Slatter 2004), “Patrimonial Democracy” (Weber 2006), “Patronage Democracy” (Klinken 2009), “Political Cartel” (Ambardi 2009), “Clientelism” (Aspinal dan Berenschot 2019; Rahmawati 2018), dan “Oligarchy” (Bunte and Ufen 2009, Hadiz and Robison 2004, Winters, 2011).

Secara spesifik setidaknya ada sebelas karakteristik demokrasi di Indonesia saat ini yang mencerminkan demokrasi tanpa demos itu. Pertama, lemahnya pelaksanaan checks and balances. Ini terlihat dari lemahnya peran partai, DPR, kehakiman, dan lain sebagainya di hadapan eksekutif. Kedua, meredupnya sikap kritis civil society, baik pers, LSM, akademisi, dan sebagainya sebagai mitra pemerintah; dan pembungkaman kalangan aktivis-kritis. Akibatnya, demokrasi kita sejatinya tengah tumbuh dalam “tanah yang gersang”.

Ketiga, kepemimpinan nasional tidak membawa pencerahan/pendewasaan berpolitik. Para elite juga tidak cukup berhasil dalam memelihara soliditas masyarakat, menghindari personifikasi politik, dan mendorong demokrasi substansial-rasional. Inilah yang akhir-akhir ini menjadi pendorong berkembangnya pembodohan politik dan manipulasi kepentingan serta pembelahan politik. Keempat, lemahnya penerapan nilai-nilai demokrasi, baik pada level elite ataupun masyarakat, seiring dengan meningkatnya oportunisme di kalangan elite dan meredupnya pendidikan politik serta melemahnya ekonomi masyarakat.

Kelima, penegakan hukum yang tebang pilih. Kedekatan dengan rezim akan membawa keuntungan tersendiri dalam dunia hukum kita. Selain itu, ada kecenderungan menerabas aturan yang terlihat pada aturan-aturan kekinian, termasuk omnibus law. Keenam, memudarnya partisipasi rakyat yang otonom dan genuine. Ini ditandai dengan maraknya politik uang, manipulasi informasi, dan beroperasinya buzzer secara masif. Ketujuh, pelemahan kebebasan berekspresi demi stabilitas politik yang ditandai dengan meningkatnya pendekatan keamanan dan kriminalisasi.

Kedelapan, terjadinya “de-demokratisasi internal” pada lembaga-lembaga politik, terutama partai yang justru menyuburkan nilai-nilai anti-demokrasi dan meningkatkan personifikasi lembaga demokrasi. Kesembilan, pelaksaana pemilu dan pilkada yang sarat dengan manipulasi dan politik uang. Uang demikian bermakna dan menentukan (money talks and decides). Akibat situasi ini, muncul fenomena yang disebut sebagai “votes without voice”. Kesepuluh, repolitisasi birokrasi dan aparat untuk kepentingan penguasa, terutama dalam kontestasi elektoral. Kesebelas, terjadinya diskriminasi politik atas nama SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dan rasa kedaerahan.

Dengan kesebelas karakteristik itu, tidak mengherankan jika nilai demokrasi Indonesia menjadi jeblok. Dari hasil studi Economist Intelligence Unit (EIU), dalam dua tahun terakhir ini, di kawasan Asia Tenggara Indonesia berada di peringkat 3, di bawah Malaysia dan Filipina, dengan kategori sebagai “flawed democracy” (demokrasi yang cacat).

Sementara menurut Freedom House, Indonesia sudah masuk negara dalam kategori partly free, dan status ini sudah berlangsung cukup lama. Secara umum beberapa kajian terkini juga menyebutkan Indonesia sebagai negara yang tidak murni demokrasi atau demokrasi sebatas prosedur saja.

 Penulis : Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI: Prof. DR. Firman Noor, MA (Hons)

Baca Juga : 

Politik Indonesia Tak Lama sebelum Pandemi COVID-19: Tendensi Regresi


Tidak ada komentar:

Write a Comment


Top